Kuburan Truyan Di Bali

Diposting oleh Unknown on Selasa, 08 Juli 2014

Kuburan Truyan Di Bali - Bali menawarkan tradisi budaya yang unik. Salah satu tempat menarik adalah sebuah Desa Trunyan. Kuburan di desa itu punya pohon raksasa berusia yang mengeluarkan bau harum dan banyak tengkorak berserakan.

Trunyan berasal dari kata Taru Menyan yang berarti pohon wangi. Untuk mencapai Desa Trunyan, butuh perjuangan ekstra. Selain karena daerah yang cukup terpencil, agak sulit menemukan guide yang mau mengantar kita ke desa ini. Karena memang medan yang ditempuh untuk mencapai dermaga, berkelok dan curam.

Desa Trunyan menawarkan pesona alam yang luar biasa indah. Kuburan Trunyan berada di sisi timur Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali. Untuk mencapai lokasi kuburan kita harus naik perahu sekitar 15 menit.

Ongkos naik perahu ini pun ditawarkan beragam, kita harus pandai-pandai menawar. Harga yang ditawarkan berkisar Rp 150-300 ribu/orang. Sebaiknya berikan tawaran terendah, apalagi bila kita berombongan harga bisa semakin murah.
Kuburan Truyan Di Bali

Sejuknya angin yang berhembus menyambut saya saat kapal berlabuh di dermaga. Setelah naik perahu kurang lebih 15 menit sambil menikmati keindahan alam yang luar biasa, akhirnya kedatangan saya disambut dengan tulisan: Selamat Datang di Kuburan Trunyan.

Hampir tak ada wisatawan yang tak berdiri bulu kuduknya saat melangkahkan kaki ke kompleks kuburan Trunyan. Bayangkan saja, jenazah-jenazah di kuburan ini dibiarkan membusuk di atas tanah. Berbeda dengan mayoritas warga Bali yang melakukan upacara 'ngaben' saat kematian seseorang.

Mayat atau jenazah dari masyarakat Trunyan ini hanya digeletakkan begitu saja, dan kemudian ditutupi oleh 'ancak saji' yaitu serupa bambu yang dibentuk segitiga sama sisi. Mayat dibuat berpakaian lengkap, hanya terbuka wajah dan sebagian punggungnya.

Hampir semua wisatawan bergidik ngeri saat melihat deretan tengkorak di Kuburan Trunyan, Bali. Namun anehnya, Tak sedikitpun tercium bau bangkai atau bau busuk meski tak ada jenazah yang dikremasi. Legenda dan tradisi melarang wanita yang berkunjung ke sini tidak boleh dalam keadaan haid, karena dianggap tidak suci.

Waktu itu saya ditemani Bli Wayan, seorang warga Desa Trunyan. Ia tahu betul seluk-beluk kuburan ini, dari legenda sampai tradisinya. Sambil berkeliling melihat tengkorak yang 'tercecer' di sana-sini, pria bertubuh kekar itu bercerita.

"Legendanya, ada 4 bersaudara dari Keraton Surakarta yang terhipnosis wangi Taru Menyan," katanya sambil menunjuk pohon raksasa dengan akar yang menjulur ke segala arah. Taru Menyan adalah asal nama kata 'Trunyan', berarti 'pohon wangi'.

Empat bersaudara itu terdiri dari 3 laki-laki dan si bungsu perempuan. Mereka melintasi Tanah Jawa, kemudian Selat Sunda untuk mencari asal muasal wangi semerbak itu. Singkat cerita, setibanya di Trunyan, sang kakak sulung jatuh cinta kepada sang Dewi penunggu pohon tersebut.

"Sudah direstui semua saudaranya, mereka nikah. Trunyan jadi sebuah kerajaan kecil. Pohon besarnya masih mengeluarkan wangi. Sampai akhirnya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu agar terlindung dari serangan. Biar nggak ada lagi yang terhipnotis wanginya," lanjut Bli Wayan.

Kami berjalan menuju 'ancak saji', anyaman bambu berbentuk segitiga sama kaki. Di sinilah jenazah diletakkan begitu saja, tanpa sedikit pun tercium bau bangkai. Di sekitarnya terdapat benda-benda peninggalan si jenazah: piring, foto berpigura, sapu tangan, baju dan perhiasan. Sedikit mengintip ke dalam 'ancak saji', saya melihat potongan tulang dan tengkorak. Ada pula yang tinggal rambutnya saja.

"Inilah yang diperintahkan sang Raja waktu itu. Untuk menghilangkan bau semerbak, jenazah orang Trunyan dibiarkan saja membusuk di tanah sini. Nggak tercium bau apa-apa kan? Bau harum dan busuk konon sudah menyatu di sini," bisik bli Wayan.

"Ada 3 macam kuburan di sini, pertama kuburan Trunyan ini yang dekat dengan pohon Trunyan. Tapi tak sembarang mayat bisa dikuburkan dengan cara ini, mayatnya harus utuh dan meninggal secara normal atau wajar. Tak boleh ada luka seperti mayat kecelakaan," kata dia.

Dua kuburan lain, letaknya agak jauh dari sini, dua kuburan lagi untuk orang yang matinya tidak wajar seperti bunuh diri atau kecelakaan (Ulah pati dan salah pati). Satu lagi adalah kuburan khusus untuk perawan atau bujangan yang sudah tua tapi tidak pernah menikah. Dua kuburan itu tidak boleh dikunjungi karena bukan kuburan suci. Cara pemakanannya pun dikubur, bukan diletakkan seperti ini.

"Waktu mengantar jenazah, nggak boleh ada wanita yang ikut dalam rombongan. Kalau peraturan ini dilanggar, bisa-bisa desa tempat tinggal wanita itu ditimpa bencana," tuturnya.

Jumlah kuburan yang tertutup 'ancak saji' hanya 11. Kalau ada mayat yang dikubur di sini, mayat yang paling pinggir digeser tulang-tulangnya. Hasilnya, deretan tengkorak dan tulang pun berceceran di kuburan tersebut.

"Tempat ini tidak boleh dibersihkan jika belum dilakukan upacara pembersihan. Jadi tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak itu dibiarkan begitu saja sampai adanya proses upacara dan tidak boleh disentuh. Yang boleh disentuh hanyalah tulang dan tengkorak yang sudah diupacarakan," tambah Bli Wayan.

Saya merinding, namun sumringah. Karena berkesempatan menikmati tradisi yang unik ini. Sepanjang perjalanan pulang dari Kuburan Trunyan, saya berpikir keras. Tradisi ini mungkin sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. Selama itu pula, tak pula tercium bau bangkai dari Kuburan Trunyan.

Kapal pun meninggalkan dermaga, pohon raksasa Trunyan seperti melambaikan tangan dan mengucapkan selamat jalan.